Teti Karnia Rachmawati (60) sudah 36 tahun mengabdi sebagai guru di SLBN Cicendo Kota Bandung. Banyak lika-liku kehidupan yang dialaminya selama mengajar para siswa tuna rungu alias teman Tuli. Simak kisah lengkapnya yuk, TemanBaik!
“Saya sudah 36 tahun mengajar. Saya masuk ke sini pertengahan 1982 dan jadi honorer selama setahun. Tahun 1983 ada ujian tes untuk pengangkatan PNS, tahun 83 itu saya diangkat,” kata Teti kepada BeritaBaik.id.
Latar belakang orang tua sebagai guru di SLB membuat Teti punya ketertarikan tersendiri menjadi guru. Hingga akhirnya, ia menempuh pendidikan guru SLB dan berhasil masuk menjadi guru di SLBN Cicendo.
Saat pertama kali menjadi guru, diakuinya bukan hal mudah. Sebab, mengajar siswa tunarungu tentu berbeda dengan mengajar siswa lain pada umumnya. Apalagi, ia saat itu belum terlalu mahir menggunakan bahasa isyarat. Di saat yang sama, siswa yang diajarnya juga belum mahir bahasa isyarat dan baca tulis. Itu karena Teti mengajar di tingkat TK dan belakangan mengajar di SD.
Jadi Orang Tua Pengganti
Karena mengajar di kelas ‘kecil’, Teti justru punya peran ganda. Selain harus mengajarkan berbagai mata pelajaran, ia juga sekaligus jadi orang tua bagi para siswa. Bahkan, tak jarang ia harus menggendong siswa hingga membantu siswa yang buang air.
“Memang kalau ngajar di kelas kecil kayak begitu, jadinya ke siswa kayak anak sendiri, enggak bisa apa-apa dibiarin sendiri. Apalagi dulu waktu ngajar di TK, mau pipis, mau ke belakang, itu yang tanggung jawab guru,” ujar Teti.
Bukannya risih, ia justru merasa tertantang untuk mengajar mereka. Rasa berat hanya dirasakan di awal. Selebihnya, ia sangat menikmati pekerjaannya meski memang bukan hanya sekadar mengajar.
Karena sudah seperti anak dan ibu dengan para siswanya, ia memiliki kedekatan tersendiri dengan mereka. Saking dekatnya, ia bahkan menganggap mereka seperti anak sendiri. Seperti ketika bertugas di Asrama SLBN Cicendo pada 1984-1986, ia kerap mengajak siswa di sana untuk tinggal di rumahnya saat akhir pekan.
Sebab, biasanya siswa yang tinggal di asrama akan dijemput orang tuanya saat akhir pekan. Tapi, bagi yang kebetulan rumahya jauh dari Kota Bandung, mereka biasanya tak dijemput orang tuanya. Agar mereka tak kesepian, membawa mereka ke rumah Teti menjadi solusinya.
“Saya merasa mereka seperti anak-anak saya sendiri. Kalau dibawa ke rumah juga mereka enggak saya beda-bedakan dengan anak saya sendiri. Kalau liburan dan mereka lagi bareng saya juga saya bawa,” ungkap Teti.
Kepuasan dan Kesedihan
Sebagai guru yang mengajar 36 tahun, tentu ada banyak kesan manis dalam benaknya. Tapi, soal kepuasan batin, ia mendapatkannya dari hal yang mungkin oleh orang lain dianggap sederhana.
“Alhamdulillah saya bisa mendidik mereka,” ujar ibu empat anak ini.
Salah satu kepuasannya adalah ketika anak didiknya minimal bisa membaca dan menulis serta menggunakan bahasa isyarat. Sebab, itu jadi bekal penting mereka untuk mengenyam pendidikan di tingkat lanjut.
Tapi, di balik kepuasannya itu, ia kini dilanda kesedihan. Sebab, dalam waktu dekat ia akan pensiun. Hal itu dirasa cukup berat karena ia tak pernah pindah mengajar selama 36 tahun. Baginya, para siswa, guru, dan semua orang di SLBN Cicendo sudah seperti keluarga besarnya sendiri. Kedekatan dengan mereka pun dirasa sangat luar biasa.
Mereka yang seumuran atau lebih tua dianggap sebagai saudara, bahkan mereka yang lebih muda menganggap Teti sebagai ibu. Bahkan, ia tahu betul bagaimana perkembangan sekolah tersebut selama 36 tahun. Ia tahu secara detail satu per satu ruangan di sana dan sejarah panjangnya.
“Sebentar lagi saya akan meninggalkan sekolah (pensiun), kayak ada yang akan hilang di hidup saya,” kata Teti dengan mata berkaca-kaca.
Ia pun tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat berbincang dengan BeritaBaik.id. Sesekali, ia mengusap air matanya dengan tisu yang diambilnya di meja. Berat bagi Teti harus pensiun. Ia merasa seperti baru kemarin masuk ke sekolah tapi sebentar lagi harus meninggalkannya.
“Saya enggak pernah pindah ngajar. Dulu sempat ada rumor mutasi, tapi saya enggak mau. Kalau saya dipindahin enggak apa-apa, tapi kalau mengajukan sendiri saya enggak mau. Saya merasa semua yang di sini sudah merasa seperti keluarga,” jelasnya.
“Saya di sini dari belum bisa apa-apa, dari gaji Rp26 ribu. Alhamdulillah sekarang sudah naik tingkat, sudah diangkat jadi PNS, semuanya berjalan lancar, dansekarang saya golongan 4B sudah tercapai,” tutur Teti
Setelah pensiun kelak, ia berencana menghabiskan waktunya di rumah. Ia ingin membuka warung dan mengasuh cucu. Kesibukan lain yang memungkinkan dilakukan adalah membuka les bagi anak-anak disabilitas. Itu karena banyak orang tua yang menginginkannya.
“Kalau saya senang karena jadi ada kegiatan setelah pensiun. Sekarang juga banyak sebenarnya yang minta les, tapi kalau sekarang susah membagi waktunya. Kalau nanti setelah pensiun mungkin enggak susah membagi waktunya,” tandas Teti.
Foto: Oris Riswan Budiana/beritabaik.id