Bandung – Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Cicendo Bandung, demikian nama sekolah ini dikenal. Lokasinya ada di Jalan Cicendo, Kota Bandung. Sekolah ini bertetangga dengan Gedung Negara Pakuan yang merupakan rumah dinas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Sepintas, jika dilihat dari luar, SLBN Cicendo ini terlihat biasa saja. Namun, jika masuk ke dalamnya, ada keistimewaan yang tersaji. Sebab, sekolah ini merupakan bangunan heritage alias cagar budaya dengan arsitektur khas ala kolonial Hindia-Belanda.
Tembok dengan batu berukuran besar tersaji, pintu dan jendela yang terjaga kualitasnya, hingga ventilasi dan pencahayaan alami yang apik. Kondisi ini ditambah dengan suasana asri, area lapangan luas, serta tentunya banyak pepohonan yang bikin memanjakan mata dan pikiran.
Tak hanya itu, masih ada peninggalan asli seperti lemari dan meja. Benda ini tersimpan di ruang kelas, ruang guru, hingga ruang kepala sekolah. Benda-benda ini terawat dengan baik, apalagi secara kualitas memang tahan lama.
Wakasek Kurikulum SLBN Cicendo Ine Rahayu mengatakan pihaknya tetap mempertahankan bentuk asli dari bangunan cagar budaya, tidak ada perubahan bentuk aslinya. “Hanya ketika dilakukan perawatan dan perbaikan, ada beberapa material yang sudah tidak ada keberadaannya saat ini, jadi terpaksa kami ganti dengan material yg hampir sama seperti kaca jendela yang pecah, begitu juga genting,” kata Ine.
Di sini, bangunan yang ada dipercantik dan dirawat. Tujuannya agar bangunan yang ada terlihat makin indah. “Seperti tembok, ini aslinya enggak dicat, jadi kita cat untuk mempercantik,” ungkapnya.
Selain itu, beberapa penambahan bangunan juga dilakukan, mulai dari gedung olahraga hingga ruang kelas. Fasilitas lain juga dihadirkan, mulai dari laboratorium hingga gazebo.
“Kita punya 24 ruang kelas, enam laboratorium di antaranya laboratorium bahasa dan IPA, dan ruangan-ruangan lain, termasuk perpustakaan,” jelas Ine.
Saat ini, SLBN Cicendo memiliki 133 siswa dari tingkat TK hingga SMA LB. Sekitar 93 persen merupakan tunarungu murni dan 7 persen tunarungu plus hambatan lainnya. “Siswa kita kebanyakan dari Kota Bandung, tapi ada juga beberapa yang dari luat Kota Bandung, khususnya dari kawasan Bandung Raya,” tutur Ine.
Jejak Panjang dari Zaman Belanda
SLBN Cicendo melewati perjalanan yang sangat panjang dari dulu hingga kini. Cikal-bakal sekolah ini diawali didirikannya Perkumpulan Penyelenggara Pengajaran Anak-anak Tuli-Bisu (P3ATB) pada 3 Januari 1930 di kediaman Residen Priangan bernama J.H.B. Kuneman.
Pendirian P3ATB ini diinisiasi C.M. Roelfsema Wesselink, istri dokter ahli penyakit hidung, tenggorokan, dan telinga bernama H.L. Roelfsema. Sebelum perkumpulan ini didirikan, Roelfsema sudah aktif bertahun-tahun mengajar anak-anak tuli-bisu yang merupakan pasien sang suami. Kegiatan yang dilakukan saat itu menjadi propaganda mengenai pengajaran luar biasa. Sehingga, saat itu mulai banyak yang memberikan sumbangan dan bantuan.
Singkat cerita, asrama pertama kemudian didirikan di kediaman dokter Roelfsema di kawasan yang saat ini dikenal dengan nama Jalan R.E. Martadinata alias Jalan Riau. Saat itu, ada enam murid yang belajar di sana. Seiring berjalannya waktu, asrama itu dianggap terlalu kecil sehingga pindah ke Oude Hospitalweg Nr.27.
Saat itu, Ministerie Voor Onderwijs en Eredienst belum bisa menyediakan guru ahli. Sehingga, Roelfsema Wesselink terus mengajar sendirian. Lama-kelamaan, didatangkanlah dua ahli dari Belanda, yaitu D.W. Bluemink dan E. Goudberg. Bluemink kemudian diangkat menjadi direktur.
Seiring berjalannya waktu, gedung sekolah dan asrama kemudian dibangun di Desa Cicendo, Distrik Bandung, Kabulaten Bandung. Lahan yang digunakan adalah wakaf dari K.A.R. Bosscha kepad Dewan Pradja Bandung untuk diberikan kepada badan amal. Tanah itu lalu diserahkan ke P3ATB yang ditegaskan melalui surat kadaster tertanggal 31 Maret 1932.
Pada 6 Mei 1933, peletakan batu pertama dilakukan untuk membangun gedung sekolah dan asrama. Peletakan batu dilakukan istri Gouverneur Generaal van Nederland Indie bernama Hoogedelgeboren Vrouve A.C. de Jonge.
Selanjutnya, pada 18 Desember 1933, gedung sekolah dan asrama selesai dibangun dan resmi dibuka. Jumlah muridnya saat itu 26 orang dan enam orang di antaranya tinggal di luar asrama. Sejak saat itulah gedung yang kini dikenal sebagai SLBN Cicendo itu menjadi tempat belajar anak-anak tuli-bisu dengan nama Doofstommen Instituut Bandung.
Namun, keberadaan tempat ini sempat berubah fungsi ketika zaman pendudukan Jepang. Dalam kurun 1942-1945, gedung sekolah dan asrama dipakai tentara Jepang selama peperangan. Semua murid lalu dibawa ke rumah kediaman Direktur Bluemink.
Gedung yang ada pun konon sempat dijadikan sebagai klinik bersalin di era pendudukan Jepang. Namun, gedung ini kemudian dikembalikan lagi pada P3ATB pada 1 Juni 1949. Selanjutnya, mulai 1 Nopember 1950, J. van Doorn diberi mandat untuk menjadi direktur di sana. Van Doorn sendiri didatangkan dari Belanda oleh Kementerian Pendidikan dan Pengajaran sebagai bentuk perhatian pemerintah pada P3ATB.
Pada 1951, perluasan asrama dilakukan berkat sokongan dana dari Yayasan Dana Bantuan. Di tahun tersebut, pimpinan di sekolah tersebut dipegang J.A. van der Beek. Jumlah murid di sana saat dipimpin van der Beek pun bertambah, dari 63 orang menjadi 93 orang.
Berikutnya, pada 1952, Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan memberi nama baru bagi sekolah tersebut menjadi Sekolah Rakjat Latihan Luar Biasa. Pada 1965, seluruh aset dan kegiatan di sana dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai pemerintah Indonesia.
Tempat ini pun beberapa kali berubah nama dan status. Mulai dari Lembaga Pendidikan Anak-anak Tuli Bisu (LPTAB), SLB-B YP3ATR I dan II, hingga SLBN Cicendo pada 2008. Namun, peresmian menjadi SLBN Cicendo ini baru dilakukan pada 26 Februari 2009 oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Selanjutnya, pada 2010, bangunan sekolah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi UU tentang Benda Cagar Budaya.
Bukan Sekadar Sekolah
Secara umum, SLBN Cicendo ini memang berfungsi selayaknya sekolah. Di sini jadi tempat belajar bagi siswa tunarungu alias teman Tuli. Mereka dibekali pelajaran formal dan non formal seperti tata kecantikan hingga kerajinan.
Berbagai pelajaran yang diberikan tentu diharapkan berguna untuk masa depan mereka. Sehingga, mereka diharapkan jadi pribadi yang lebih baik dengan masa depan cerah.
Selain berfokus pada pelajaran pada umumnya, di sekolah ini siswa juga diajarkan budi pekerti hingga pengetahuan seputar agama. “Artinya, memang ada nilai-nilai (kehidupan) yang kita terapkan kepada anak-anak,” ujar Ine.
Hal yang tergolong unik dari SLBN Cicendo, siswa dan guru ibarat menjadi sahabat, bahkan keluarga. Mereka sangat dekat satu sama lain. Meski begitu, satu sama lain berusaha saling mengerti peran masing-masing. Ketika belajar, mereka menempatkan diri sebagai guru dan murid. Namun, di luar kegiatan belajar, mereka bisa berbaur sebagai sahabat atau bahkan keluarga.
“Kami (para guru) mencoba untuk bisa bersinergi dengan mereka (siswa). Tata krama, attitude, dijaga di dalam kelas, tapi di luar kelas kita mencoba menciptakan suasana yang berbeda,” tutur Ine.
Secara umum, hampir semua murid dari semua tingkatan dekat dengan guru-gurunya. Bahkan, guru di sini bisa jadi teman curhat para siswa saat mereka punya masalah atau problem pribadi yang tak bisa diceritakan pada orang tua.
“Secara umum antara siswa dan guru terjalin suatu kedekatan yang cukup baik, tidak terkecuali anak-anak SMA LB, ya. Mereka biasanya bisa curhat ke gurunya sesuai dengan masa usia mereka ya, (misalnya) yang remaja jelang dewasa mungkin agak sulit berkomunikasi dengan orang tuanya terkait curhat-curhat secara pribadi gitu,” ungkapnya.
“Kadang ada siswa kami yang justru curhatnya kepada gurunya. Itu salah satu yang mungkin berbeda dengan di sekolah umun. Jadi, kami bisa lebih merangkul mereka, bisa lebih dekat dengan mereka, dan itu biasanya terjadi di luar jam pelajaran,” jelas Ine.
Rahasia Kedekatan Guru & Murid
Apa sih yang membuat guru dan murid di sini begitu dekat? Hal itu menurut Ine terbangun secara alami. Namun, memang ada faktor lain yang membuat mereka bisa dekat.
“Rahasia kedekatan kami dengan siswa sebetulnya terbangun secara alami. Namun, kami juga sadar kami para guru bukan hanya bertugas mengajar mereka di dalam kelas, tetapi kita harus bisa menjadi orang tua, bahkan teman bagi mereka,” ungkapnya.
Inilah yang jadi pembeda antara SLBN Cicendo dengan sekolah lain pada umumnya. Hubungan siswa dengan guru terbangun lebih dekat.
“Yang membedakannya dengan guru-guru di sekolah reguler tentunya ada, kami melayani anak-anak kami secara individu. Jadi hampir semua guru mengenal karakteristik anak-anak kami,” ungkapnya.
Hal ini juga tak lepas dari cara mengajar. Sebab, guru di sini mengandalkan sentuhan ketika mengajar siswa. Sehingga, lama-kelamaan siswa menjadi lebih dekat dengan gurunya karena siswa merasa mendapat perhatian ketika belajar.
“Kita sebagai guru juga memposisikan agar anak jangan takut dengan guru, kita mencoba menghilangkan paradigma itu,” jelasnya.
“Justru kalau kita sebaliknya, kita menganggap anak-anak itu ‘bos’. Mereka yang harus dilayani oleh kita, bukan kita yang harus ini (dilayani). Jadi kita harus betul-betul melayani mereka. Mereka adalah bos kita dalam tanda petik,” papar Ine.
Tetaplah terdepan dalam menginspirasi